Setidaknya ada empat ”besalen” (tempat empu membikin keris, lengkap dengan perapian arang kayu jati dan paron tempat menempa besi) di Solo. Salah satunya di Institut Seni Indonesia (ISI) di Kenthingan, dekat Bengawan Solo, dan yang lainnya adalah di besalen-besalen milik pribadi.
Salah satu besalen pribadi yang ”laris” dipakai berguru para mahasiswa yang ingin mengambil mata kuliah profesi, kuliah pilihan membikin keris, adalah besalen milik Empu Subandi. Persisnya di Desa Banaran, Ngringo, Jaten, Karanganyar di sisi timur Bengawan Solo.
”Selain untuk mengisi unit kegiatan mahasiswa (UKM), kebanyakan mereka menumpahkan minat mereka sambil menunggu menyelesaikan kuliah,” tutur Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Subandi Supaningrat—gelar pemberian dari Keraton Surakarta—ini pula.
Empu Subandi (51) yang kini tengah berada di Jakarta ikut Pameran Keris Kamardikan yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta, perkumpulan pencinta keris Panji Nusantara, dan sejumlah kolektor individual pada 12-16 Agustus 2008.
Tak rahasia lagi
Pada masa silam, pembuatan keris itu dulu penuh kerahasiaan. Jangankan cara membikinnya yang cukup rumit, ritual-ritualnya pun serba tersembunyi. Juga, siapa yang memesannya.
Bisa terjadi, si pemesan keris—banyak di antaranya para raja atau orang penting keraton pada masa lalu—memesan kepada si empu pembuat keris agar dalam membikin pun empu menjalankan ritual tertentu serta dengan niat dan tujuan tertentu pula.
Keris Empu Gandring adalah salah satu legenda tutur yang populer. Ken Arok yang licik bisa memfitnah Kebo Ijo sebagai pembunuh Akuwu Tunggul Ametung—hanya karena sebilah keris yang dititipkan kepadanya secara rahasia.
Budaya ”kerahasiaan” dalam pembuatan keris pada masa lalu itu disebut sebagai budaya sinengker. Keris bagi orang Jawa pada masa lalu merupakan benda yang sinengker. Dipesan untuk dibikin dengan niat pribadi sehingga perlu dirahasiakan.
Meski kerahasiaan itu menghambat pelestariannya, ternyata budaya sinengker itu dulu juga menimbulkan kekhasan mutu dan penampilan keris. Keris yang dari ”tangguh” (perkiraan zaman pembuatan atau gaya zaman tertentu) Majapahit abad ke-14-16, misalnya, secara visual tampak berbeda dari keris tangguh tua sebelumnya, masa Kerajaan Pajajaran (abad ke-14-15).
Tetapi, pada zaman kamardikan (setelah kemerdekaan), benteng-benteng sinengker itu mulai runtuh. Ilmu membuat keris mulai diurai keluar tembok keraton. Dalam 20 tahun terakhir, keris bahkan sudah masuk ke tembok kampus. Keris kini sudah menjadi mata kuliah pilihan bagi mahasiswa kriya ISI Solo, di samping tatah logam, kriya kayu, dan wayang.
”Di besalen kampus, mahasiswa bahkan bisa menggunakan bahan-bahan dari sekolah, termasuk arang kayu jati—satu-satunya jenis arang yang dipergunakan untuk memijar batang-batang besi karena memiliki suhu tinggi di atas 1.000 derajat Celsius,” ujar Sunarwan alias Grompol, alumnus angkatan tahun 2000 ISI Solo.
Guna menimba ilmu keris yang lebih dalam, para mahasiswa pun kemudian nyantrik (berguru) di besalen pribadi di luar kampus, seperti milik Empu Subandi di Ngringo, atau milik empu muda lainnya, seperti Yanto, Yantono, dan Daliman.
”Minat untuk ambil kuliah pilihan keris meningkat, terutama setelah adanya pengakuan dari UNESCO,” tutur Empu Subandi. Pengakuan UNESCO yang dimaksud Subandi adalah pengakuan dari lembaga PBB ini dalam proklamasinya di Paris, Perancis, 25 November 2005, bahwa keris merupakan warisan kemanusiaan dunia dari Indonesia (oral and intangible heritage of Indonesia). Tahun 2003, pengakuan serupa juga dilayangkan UNESCO untuk wayang.
Setidaknya, lebih dari 10 mahasiswa sudah nyantrik di besalen Empu Subandi. Mereka tak hanya datang dari ISI Solo, tetapi juga dari ISI Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), dan sebuah universitas swasta di Surabaya.
Jumat (8/8) lalu, misalnya, ada tiga cantrik, Sigit (semester tujuh), Sunarwan (sudah lulus ISI), dan Argo (UMS Solo) yang tengah mengayunkan godam ke pelat besi di paron, dibantu Sukimin, asisten Subandi.
”Jika di bangku akademi, kami mempelajari teori, di besalen seperti ini, kami praktik,” tutur Sunarwan, salah satu alumnus ISI Solo yang juga ”lulus” kuliah keris.
Sekitar enam bulan
Berapa lama seseorang bisa belajar bikin keris? Bervariasi. Akan tetapi, sekitar enam bulan kuliah keris biasanya bisa dikatakan lengkap meskipun hasil kerja, tentunya bergantung pada ketekunan dan bakat masing-masing.
”Setidaknya enam bulan mahasiswa sudah mendapatkan 20 sesi membuat keris serta bimbingan dosen pengampu atau dosen utama di kampus. Selebihnya, untuk memperdalam, mahasiswa diperbolehkan nyantrik di ’perusahaan’ di luar kampus,” kata Sunarwan alias Grompol ini pula.
Yang dimaksud ”perusahaan” dalam pengertian mahasiswa kriya ISI itu adalah besalen swasta di luar kampus, seperti yang dimiliki Empu Subandi.
”Ada malah, mahasiswa putri yang ambil mata kuliah keris,” kata Subandi, meski kini tidak terpantau.
Andai saja mereka meneruskan kriya mereka sebagai empu, sebenarnya mereka meneruskan ”legenda” masa lalu, seperti empu keris wanita yang bernama Ni Mbok Sombro pada masa kerajaan Pajajaran.
”Proses cipta keris kamardikan seperti oleh Djeno Harumbrodjo (keturunan ke-15 Empu Supa dari Majapahit, meninggal di Yogyakarta tahun 2006) sekarang juga mulai diikuti oleh para seniman keris di Solo dan beberapa tempat lain. Upacara tradisi, seperti upacara Sidhikara Pusaka di Jakarta dan Tumpak Landep/Pasopati di Bali, juga semakin semarak. Hal ini harus dilestarikan karena aspek ini adalah salah satu nilai penting dan tidak dimiliki oleh bangsa Barat,” kata Toni Junus, pembuat keris, lulusan ASRI Yogyakarta dan ketua penyelenggara pameran di Bentara Budaya Jakarta kali ini.
Hari gini, di zaman serba digital dan elektronik, ternyata masih juga bertahan budaya lama warisan nenek moyang beberapa ratus tahun silam.
mas boleh minta contact ?
BalasHapus