BENDA angkasa yang jatuh dari langit jika masih tersisa di atas bumi dianggap sebagai benda ampuh. Tak heran, jika benda yang pernah melewati jarak ribuan, bahkan jutaan kilometer dan nyaris terbakar habis ketika memasuki atmosfer bumi ini, lalu dipakai oleh orang masa lalu sebagai bahan pembuat pamor keris.
Tergerak oleh cerita bahwa keris-keris tua pada masa lalu ada yang menggunakan bahan pamor dari ”benda langit yang gaib” meteor, maka Ferry Febrianto—penggemar keris yang kebetulan seorang insinyur—menjelajahi dunia maya, berkomunikasi dengan komunitas kolektor meteor, dan membolak-balik buku kepustakaan tentang benda langit meteor lebih dari tiga tahun.
Intinya, dia ingin membuat keris dengan bahan pamor meteor sungguhan. (Pamor adalah guratan motif yang muncul dari hasil lipatan besi yang ditempa, biasanya beda warna). Meteor yang nyata-nyata bersertifikat dan ia tahu persis apa jenisnya, tempat jatuhnya, serta karakteristiknya.
Selama ini orang percaya bahwa pada masa lalu banyak keris tua memakai bahan pamor besi meteor yang jatuh di Prambanan pada abad ke-19. Akan tetapi, kesulitannya, ”meteor” jenisnya apa ini dan sebenarnya kapan persisnya benda langit itu jatuh di wilayah Prambanan, tak ada catatan ilmiahnya. (Sisa-sisa bongkahan yang ada sekitar 15 kg dan dipercaya sisa meteor Prambanan itu masih disimpan, dikeramatkan di Keraton Surakarta dengan julukan Kanjeng Kiai Pamor).
Karena batu pamor yang bersertifikat nilainya mahal, Ferry pun mencari kawan untuk menanggung bersama biaya eksperimen ”keris berpamor meteorit” ini. Jatuhlah pilihan kepada sesama penggemar keris yang berbeda profesi dengannya. Mereka adalah Dr Dharmawan Witjaksono SpPD (dokter) dan Dipl Ing Stanley Hendrawidjaja Arch (arsitek).
”Harga besi meteor di tangan kolektor sekitar 2 dollar AS (hampir Rp 20.000) per gram,” ujar Ferry. Sekitar 100 gram besi meteor, menurut Ferry, bisa dipakai untuk bahan pamor tiga keris. Meteor itu ia pesan via internet melalui kolektor meteor, Jack Lacroix. Ada tiga keping besi meteorit bersertifikat yang akan dipakai (jenis kamasite, kategorinya coarse atau kasar), seberat sekitar 600 gram. Besi meteorit berasal dari meteor yang jatuh di Campo del Cielo, Argentina.
”Menurut info dari James Hroulias (ahli metalurgi yang juga ahli tempa besi bersertifikat dari AS), menempa besi meteorit merupakan proses berisiko tinggi, dengan tingkat kegagalan mencapai 9 dari 10 kasus,” tutur Ferry. Menurut James yang ahli pembuat pisau, besi meteorit kalau dipijar dan ditempa begitu saja akan hancur berantakan.
Karena itu, Ferry berkonsultasi dengan seorang empu keris berpengalaman—yang pernah menjadi empu Keraton Surakarta, Empu Pauzan Puspasukadgo dari Solo. (Seorang penggemar keris dari Australia, Alan Massey, pada tahun 1996 pernah melakukan eksperimen ini, memesan keris dengan bahan besi meteorit yang ia bawa. Keris berpamor meteorit ini kemudian digarap oleh empu muda, Yohannes Yantono, di Palur, Solo—lihat Kompas, Selasa, 20 Agustus 1996).
Harus ”ditapih”
Inilah sebuah teknologi tempa, yang mungkin dulu juga dipakai oleh empu-empu kita pada masa lalu. Supaya lempengan besi meteorit tidak hancur berantakan, lempeng-lempeng besi meteor itu harus ”ditapih”. Maksudnya, lempeng-lempeng meteor itu dibungkus besi, baru kemudian dipijar di bara api arang kayu jati—lebih dari 1.000 derajat Celsius—lalu ditempa.
”Tapih” adalah kain sarung, yang biasa dipakai untuk membungkus bagian bawah badan manusia tradisional Jawa. Teknik tempa ”menapih” seperti kain sarung inilah yang dipakai (Empu Solo) Daliman dan tiga panjaknya (pembantu tempa) untuk membuat bahan pamor dari meteor Argentina itu.
Bakalan saton (tempaan lempeng besi yang sudah mengandung bahan pamor meteorit) kemudian dikirim ke Haji Shaleh di Sumenep, Madura. Garapan keris dilakukan seorang pembuat keris muda Madura, M Jamil.
Dari 300 gram bahan besi meteorit Campo del Cielo (separuh dari keseluruhan 600 gram), jadilah sembilan bilah keris dengan berbagai motif pamor, menurut pilihan Ferry, Dharmawan, maupun Stanley. Nama keris pun dimiripkan dengan asal besi meteorit itu, ”kanjeng kiai kampuh”.
Mengapa dipilih bahan meteorit yang ”kasar”? Menurut Ferry, justru meteor yang tidak halus (fine) biasanya menampakkan kristal dengan pola ”motif meteor” (istilah khas bagi meteor adalah Widmanstaten pattern) yang lebih indah. Semakin bagus pola Widmanstaten-nya besi meteor, semakin unik pula nanti jadinya jika muncul di dalam pamor. Gradasi warnanya tak terduga, lebih menarik daripada sekadar pola gemerlap datar dari bahan nikel.
Nilai nonbendawi
Orang Jawa memang suka dengan hal-hal gaib, terkadang di luar akal, dan mengaitkannya dengan kenyataan hidup sehari- hari. Seperti pamor keris dari bahan meteor, mengapa dulu laris dipakai untuk bahan keris pesanan para raja?
Selain kelangkaan bendanya, juga dipercaya benda yang jatuh dari langit ”memiliki tuah yang gaib”. Wahyu pun—legitimasi spiritual untuk simbol keabsahan sebuah tindakan pada masa lalu—juga sering dikait-kaitkan dengan hal-hal ”dari langit”.
Tak heran pula, jika dari sisa- sisa bongkahan besi meteor Prambanan, kemudian dijadikan semacam pusaka. Ditaruh di sebuah tempat khusus—semacam kandang atau kurungan—dan dikeramatkan sebagai pusaka Kanjeng Kiai Pamor di Keraton Surakarta Hadiningrat.
”Tadinya kami ingin memakai bahan dari Kanjeng Kiai Pamor. Akan tetapi, karena tidak memiliki akses, lebih baik kami mencari besi meteorit dari luar negeri, melalui internet,” tutur Ferry pula, yang mengaku kini kembali melakukan eksperimen berikut: apakah pamor meteorit itu juga bisa diukir (karena begitu kerasnya)….
”Semua proses kali ini akan kami lakukan di Solo, dari menempa bahan sampai penyelesaian kerisnya,” kata Ferry pula.
Apa yang dilakukan Ferry dan kawan-kawan ini ternyata membangkitkan keinginan serupa di kalangan orang muda lainnya yang menyukai keris. Jangan heran, jika pada masa datang ini, orang akan ramai ”berburu” besi meteor. Entah langsung ke lokasi di berbagai pelosok Jawa, atau di dunia maya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar