DER kris der javaner merupakan buku yang paling banyak dikutip para penulis keris selanjutnya. Menarik, padahal buku Dr Groneman ini sesungguhnya lebih merupakan sebuah proyek keprihatinan, seperti terungkap dari pembukaan dan penutupnya.
Lewat buku terbitan 1910 ini, ia mengimbau kepada sesama kaumnya di Eropa untuk mendukung dalam "membangkitkan kembali sebuah cabang yang sangat berharga dari Kemauan dan Kemampuan Jawa ini dari keruntuhan yang menyedihkan..."
Dengan gayanya yang lebih deskriptif, dibanding tematis, buku ini lantas jadi melebar ke mana-mana, ke segala sesuatu yang bersangkutan dengan keris. Bahkan, dalam pengertian tertentu, beberapa aspek budaya dan kehidupan lebih luas orang Jawa di masa itu ikut tergambarkan.
Sehingga, jika diperbandingkan secara sederhana, kalau Raffles dengan The History of Java berusaha memahami 'Jawa' dengan mengupas satu-persatu berbagai aspeknya, Groneman melakukan hal itu dengan membedah secara detail lewat satu aspek saja (persenjataan), bahkan satu jenis senjata saja, namun melebar pada segala kaitannya.
Memang, pertanyaannya lalu, bagaimana hal itu jadi mungkin?
Di samping tiap aspek dari sebuah kebudayaan sedikit-banyak pasti bersangkut-paut satu sama lain, hal ini menjadi mungkin, dan karena itu sesungguhnya memperlihatkan, betapa cukup pentingnya keris dalam kehidupan orang Jawa. Dan, melihat sisa tata krama dan tata nilai yang bersangkutan dengan keris, misalnya sebagai bagian dalam sistem 'kepercayaan', piyandel (peneguh hati), keprajuritan, atau pun sistem dan upacara kebesaran, rasanya hal tersebut juga berlaku bagi sebagian besar suku-suku budaya lain di penjuru Nusantara.
Bahkan, melebar sampai ke Pathani di Thailand Selatan, Campa (Kamboja), Malaysia, Brunei, serta Sulu dan Moro di Filipina Selatan (Bambang Harsrinuksmo & S Lumintu, Ensiklopedi Budaya Nasional: Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya)
Hal ini sangat jelas tercermin dalam konsep lima prasyarat kehidupan sempurna bagi seorang lelaki Jawa, yakni wisma, wanita, kukila, turangga, dan curiga (rumah, wanita, burung sebagai lambang hobi, kuda sebagai lambang kendaraan, dan keris).
Oleh karena itu, dunia keris Jawa berkedudukan di pusat tradisi, sehingga setiap lelaki selayaknya memiliki; bukan sebagai sekadar senjata, tetapi terlebih lagi sebagai pengukuh identitasnya sebagai lelaki dewasa dan seorang anggota keluarga dan masyarakat yang bertanggung jawab. (Garrett & Bronwen Solyom, The World of the Javanese Keris)
Betapa pentingnya keris di dalam kehidupan orang Jawa, barangkali juga terlihat lewat banyaknya pemakaian kata keris sebagai simbolisasi. Yang paling lazim dikenal tentulah ungkapan "curiga manjing warangka, warangka manjing curiga." Sebuah paradoks mistik yang menggambarkan manunggaling kawula lan gusti, bersatunya hamba (manusia) dan Tuhan.
Sebuah konsep sentral dalam mistik Jawa yang pantheistis. (PJ Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti) Bahkan ada yang menafsirkan, persatuan dalam keterpisahan antara bilah keris dengan gonjo-nya (bagian bilah keris yang melintang di bagian bawah), juga melambangkan hal tersebut.
ASPEK mistik memang juga merupakan hal terpenting pada keris. Terus terang saja, yang membuat keris mempunyai tempat demikian penting di dalam tradisi kita, terutama adalah karena aspek mistik, yang terkadang 'melenceng' lebih jauh lagi, sehingga terdegradasi menjadi sekadar klenik. Bahkan, dewasa ini, ketika tempat keris yang demikian sentral di dalam tradisi kita itu sudah memudar jauh, justru aspek inilah yang tetap bertahan.
Contoh yang paling sederhana adalah, setiap menjelang pemilu, apalagi pakai ontran-ontran seperti kemarin ini, pedagang keris panen keras. Dan hal ini, tak lain dari warisan kepercayaan lama bahwa di dalam keris ada 'daya' tertentu yang dapat membuat orang sukses dalam bidang tertentu, katakanlah menjadi petinggi, jenderal, pengusaha sukses, playboy, bahkan, gilanya, juga pencuri ulung (mungkin ini kerisnya para petinggi kita yang doyan KKN itu).
Di masa lalu, kepercayaan bahwa sebilah keris mempunyai 'daya' tertentu sehingga menimbulkan legitimasi bagi seseorang untuk menduduki jabatan tertentu, merupakan barang biasa. Sebagai contoh, Amangkurat II dikisahkan pernah mengirim utusan untuk 'meminjam' pusaka Puger, yakni tombak Kyai Plered dan keris Kyai Mesanular. Ketika dikirim aslinya, Amangkurat II tercekam takut, lalu marah. Ia segera mengembalikan, dan meminta pinjam kopi modelnya saja.
Kyai Plered adalah pusaka keraton turun-temurun, yang pernah dipakai pendiri Mataram, Panembahan Senapati, untuk membunuh Arya Penangsang (Jipang). Sedangkan Kyai Mesanular, menurut Groneman, adalah pusaka raja terakhir Majapahit. Oleh karena itu, Babad Keraton, menuturkan hal itu sebagai pembuka untuk tema yang akan dikembangkan belakangan, yakni Puger memang mempunyai legitimasi supernatural untuk memiliki pusaka semacam itu, yang bahkan seorang raja saja takut menyentuhnya. Maka, sahlah kalau di belakang hari, ia menjadi raja Mataram berikutnya, dengan gelar Pakubuwana I. (MC Ricklefs, War, Culture and Economy in Java 1677-1726)
Sisa kepercayaan bahwa sebilah keris membawa legitimasi pemiliknya, juga masih kita kenal dalam tradisi orang kebanyakan di desa-desa Jawa. Sebagai misal, kalau terjadi halangan hadir, karena meninggal atau bertugas jauh, perkawinan dapat tetap dilangsungkan dengan keris pusaka sang pengantin lelaki sebagai ganti/wakil kehadirannya.
Setelah disuling peradaban, menjadi pengertian yang lebih simbolik, mungkin masih dalam tradisi serupa jugalah pertukaran keris dipakai sebagai lambang ikatan persaudaraan, atau keris dipakai sebagai sesajen penunggu dangau, tolak bala, dsb.
BETAPAPUN, di lain pihak, sesungguhnya mencoba menempatkan keris sebagai benda budaya belaka, sebetulnya juga sudah dapat lebih dari cukup untuk mengundang decak kekaguman; khususnya dalam keartistikannya yang subtil dan teknologinya yang canggih.
Edward Frey, pengarang The Kris, Mystic Weapon of the Malay World, berkata, kebanyakan senjata menuntut keterampilan canggih dalam kerja logam, akan tetapi keris merupakan "contoh lebih baik dari keartistikan dalam kerja logam dibanding senjata mana pun."
Terlepas dari derajat kebenarannya, memang ada perbedaan mendasar yang membedakan keris dengan senjata-senjata tradisional lainnya, yang juga dianggap canggih dan menjadi semacam 'budaya' tersendiri, katakanlah katana Jepang atau pedang Eropa.
Pada umumnya, tekanan teknologi senjata tradisional lainnya adalah pada kualitas bahan, yang berpengaruh pada kekuatan dan ketajamannya, kepadatan dan kemulusan permukaannya; kesempurnaan garap, baik bentuk, garis potong dan cekungan yang rapih, sempurna, dan (pada pedang Eropa juga) simetris; lalu baru keindahan ornamen pada hulu, rangka, dan (pada pedang Persia) juga pada logam berbeda yang ditatahkan pada bilahnya (inlay). Sehingga, dapat dikatakan, tekanan utamanya lebih pada kecanggihan fungsionalnya sebagai hasil kerja logam yang terampil dan sempurna.
Pada keris, terutama yang tua, sebagian besar unsur itu ada, walau menjadi bahan pertimbangan, tetapi kualitasnya masih jauh di bawah pedang Eropa atau katana Jepang. Khususnya dalam kualitas bahan dan kesempurnaan garap. Memang pada keris-keris nom-noman, istilah untuk keris yang muncul setelah periode pecahnya Surakarta dan Yogyakarta, atau lebih dikenal dengan istilah keris PB (Paku Buwana) dan HB (Hamengku Buwana), hal-hal tersebut juga semakin ditingkatkan.
Akan tetapi, di lain pihak, tekanan artistik pada keris dapat dikatakan bersifat menyeluruh. Stilisasi bentuk dan ornamentasi bukanlah sekadar pada hulu, cincin hulu ataupun rangkanya, tetapi juga sudah mulai dari penggarapan bilahnya.
Dapatlah dikatakan, pada keris, sejak awal tak dapat dipisahkan antara kecenderungan kerja artistik dengan tujuan fungsionalnya. Jadi, semua unsur pada bilahnya, di samping punya makna mistis-simbolis, juga mengandaikan upaya pencapaian estetis. Di samping mistis, dapatlah dikatakan, keindahan itu sendirilah salah satu tujuan pembuatan keris.
Sebagai contoh, bilahnya rata-rata condong ke depan (kecuali keris Bali dan sundang Moro yang relatif tegak). Kecenderungan ini, ditambah dengan hulunya, yang pada keris Bugis dan Melayu bahkan sangat melengkung, menyulitkan untuk memegang erat. Atau tepatnya, ada cara tersendiri untuk memegangnya, yang kerap diistilahkan seperti memegang telur, jadi tidak kendur, tetapi juga tidak erat menggenggam seperti memegang pedang. Dengan demikian, keluwesan mengendalikan arahnya lewat pergelangan lebih utama dibanding keeratannya. Sulit membayangkannya dipakai gerakan menyabet, yang dengan sendirinya sangat bertenaga, seperti pada pedang.
Tersirat jelas betapa keris pastilah senjata tusuk, dan lebih dipergunakan dalam personal combat dibanding pertempuran nyata, terlebih lagi yang kolosal, yang tentu lebih membutuhkan senjata yang bersifat multi-purpose macam pedang. Struktur bilah dan hulu keris secara langsung membuat batasan pada cara pemakaiannya.
Barangkali, hal inilah yang menyebabkan, keris tak tampak dipakai pada latihan ilmu bela diri tradisional kita. Memang, para pakar keris juga beranggapan, keris bukan diciptakan untuk perang; kalaupun terpaksa, lebih sebagai senjata darurat. Bahkan, ada yang percaya bahwa keris hanya dipakai membunuh lawan yang kita hormati.
Dari sudut estetik, struktur bilah yang condong, dan cenderung asimetris itu, sudah memperlihatkan kecenderungannya yang stilis. Upaya mensetimbangkan komposisinya, lantas dilakukan tidak dengan membuat unsur-unsur yang serupa, dan sama besar bobot dan iramanya.
Kalau tiga perempat bilah ke atas dibuat sepenuhnya simetris, pada kedua sisi dari bagian bawah, kesetimbangan justru dicapai dengan unsur-unsur yang sepenuhnya berbeda, seperti bobot dan irama, namun ditakar sampai setimbang. Jadi konsep estetikanya, mirip kesetimbangan asimetris pada ikebana (seni merangkai bunga) Jepang.
Sebagai contoh, gandik (muka bagian bawah) dibikin pendek, kaku, dan tebal. Jadi kesannya berat dan formal. Bahkan, pada beberapa dapur, ada semacam belalainya (kembang kacang) dengan duri-duri kecil di bawahnya (jalen dan lambe gajah), yang membuat kesan tambah necis dan formal. Barangkali dapat diibaratkan seperti tambahan dasi dan penjepitnya pada sebuah setelan lengan panjang.
Sementara, profil luar dari bagian belakangnya melandai panjang (wadidang sampai buntut urang) yang memberi kesan ringan, ramping, berirama. Ditambah lagi duri-duri kecil berbentuk huruf Jawa da, duri pandan, terkadang juga lengkungan pada buntut urangnya, yang ornamentik. Pada tampak depannya, ada torehan sraweyan pipih melandai, yang semakin mengesankan ringan berirama. Jadi, sebaliknya, stilis.
Sungguh model kesetimbangan yang subtil, yang lebih banyak membutuhkan kepekaan perasaan, dibanding kesetiaan pada patokan-patokan. Masih banyak lagi model komposisi asimetrisnya yang lebih kompleks. Bayangkan, hanya pada bagian bawah, sor-soran, yang tingginya setelapak tangan, terdapat lebih dari 20 ornamen, yang punya makna dan nama sendiri-sendiri. Dan semua itu, sama sekali tak punya sangkut paut dengan fungsinya sebagai senjata tikam, tetapi lebih sebagai unsur estetis, dan terutama mistis-simbolis.
TEKANAN artistik tersebut lebih mencolok lagi dengan adanya hiasan di sepenuh bilah, yang berupa pola-pola lipatan lapisan-lapisan besi. Pola-pola yang timbul ini merupakan bagian langsung dari proses penempaan, dan bukan karena diukir, dilapisi ataupun di-srasah. Dan, bersifat sengaja, dalam arti direncanakan pilihan pola-pola bentuknya. Inilah yang dikenal dengan teknologi pamor.
Secara sederhana, pola-pola pamor itu dibuat dengan menyatukan lewat proses penempaan berulang-ulang lempengan besi dengan lempengan senyawa logam lain, sehingga membentuk puluhan, ratusan, bahkan ribuan lapisan-lapisan logam berbeda yang berselang-seling.
Lalu, secara garis besar, ada beberapa teknik untuk membuat lapisan-lapisan ini membentuk pola tertentu, antara lain, dipasang datar lalu di-drip (ditetak) besi tumpul dalam berbagai gaya; dipasang menyisi horizontal, diagonal atau vertikal, dengan tambahan teknik lipatan, belahan ataupun langsung; dipasang setelah lebih dahulu dipuntir; atau dipuntir lalu dijepit maupun dipasang dengan teknik belahan.
Pola-pola tersebut muncul akibat perbedaan kepekaan antara lapisan-lapisan kedua senyawa logam tersebut terhadap campuran cairan asam jeruk nipis dengan warangan. Lapisan dari senyawa yang unsur besinya dominan, akan lebih cepat bereaksi sehingga 'terbakar' hitam.
Sebaliknya, lapisan bahan pamor, yang menurut penelitian merupakan senyawa kapur, titanium, besi, zirkonium, niobium, dan terkadang juga nikel, kurang peka terhadap cairan tersebut, sehingga tetap putih keperakan. (Haryono Arumbinang M Sc, dkk, Tosan Aji Ditinjau Secara Metalurgi) Dengan demikian, tampillah pamor yang berbelang-belang hitam-putih dengan pola-pola indah, dan dipagari warna kelabu baja dari sisi tajamnya (slorok-nya).
Kalau ada yang harus dibanggakan dari pembuatan keris sebagai salah satu hasil budaya adiluhung bangsa kita di masa lampau, tentulah teknologi pamor ini. Para ahli memberi tiga catatan terhadap teknik pamor ini.
Pertama, secara tak sengaja memakai titanium, bahan logam modern yang lebih keras, bertitik lebur lebih tinggi, tetapi justru lebih ringan dari baja. Di dunia modern, logam ini antara lain dipakai untuk badan pesawat udara.
Lalu, kedua, kesadaran memakai teknik lapisan-lapisan, yang terbukti membuat satuannya menjadi lebih pejal untuk ketebalan yang sama.
Dan ketiga, merancang pola-pola yang unik-menarik sebagai hiasan logam yang menyatu tak terpisah dengan bahan pokok senjatanya, yang jelas merupakan suatu pencapai artistik dan teknik tempa yang mengagumkan.
Terlebih lagi, teknologi ini betul-betul asli Nusantara. Sejauh ini, belum diketemukan adanya budaya bangsa lain yang juga memakai teknik pamor serupa untuk pembuatan senjata, atau perabot lainnya.
Memang, dalam bahasa Inggris, besi berpamor semacam ini disebut sebagai damascus steel, karena dipersamakan dengan ornamen logam pada pedang-pedang Persia lama, yang beribu kota Damaskus. Akan tetapi, teknik ornamen pada pedang Persia sebetulnya lebih merupakan inlay dan bukan pamor.
Teknik ini juga dipakai untuk memberi hiasan tambahan pada keris, dan dikenal dengan istilah srasah. Cara pengerjaannya pun sangat berbeda, yakni dengan menorehkan ornamen tertentu pada bilah pedang, lalu mengisi torehan dengan logam yang lain warnanya, misalnya emas, sebelum meratakannya kembali.
TENTU saja konsep estetik asimetris bukanlah spesifik budaya keris. Banyak senjata bangsa lain menerapkan model kesetimbangan tersebut. Akan tetapi, penelitian sejauh ini membuktikan, bentuk keris sebagai senjata merupakan budaya asli Nusantara. Bahkan di India, yang di masa lampau punya banyak sangkut-paut piutang kebudayaan dengan kita, sama sekali tak ditemukan jejaknya.
Mengingat adanya migrasi bertahap dari Asia daratan ke kepulauan Indonesia di masa prasejarah, ada yang mengaitkan kemiripan keris sajen, keris berhulu patung manusia yang sering disalahtafsirkan sebagai keris Majapahit, dengan pisau Dong-Son dari Annam, selatan Hanoi. (Edward Frey, The Kris...)
Bahkan, ada yang mencoba menyejajarkan 'cundrik Majapahit' ini dengan irama stilisasi rencong Aceh, kudi daun, kudi trancang, belati yagatan dari Timur Tengah, dan sebuah belati prasejarah tembaga yang diketemukan di Belanda (Majalah De Kris, No 3). Akan tetapi pandangan-pandangan ini terlalu spekulatif, karena langkanya bukti fisik ditemukan di Nusantara. Terlebih lagi, pisau Dong-Son adalah hasil seni cetak logam, bukan seni tempa pamor, dan dari zaman yang berbeda: perunggu.
Sejauh ini, catatan tertulis paling tua yang menyebut mengenai 'kres' datang dari tahun 824 M, yakni pada prasasti Karang Tengah. Betapapun, memang masih terlalu sedikit yang kita ketahui mengenai asal-usul benda ini, untuk mengetahui lebih jelas bagaimana pada masa yang demikian purba nenek moyang kita bisa menghasilkan teknologi tempa dan mencapai konsep artistik yang demikian canggih.
Meskipun demikian, kita tahu kesenian ini mengalami puncak keemasannya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Hal ini bukan saja kita saksikan langsung lewat peninggalannya, namun juga lewat pujian tertulis Ma Huan, yang kebetulan melihatnya, dalam Yingyai Sheng-lan (1416).
Tuturnya, "Senjata ini mempunyai garis-garis dan bunga-bunga putih dan terbuat dari baja terbaik; hulunya dari emas, cula badak, dan gading, yang dipahat dalam sosok manusia atau setan, dan dengan garapan akhir yang seksama." (S Lumintu, Ensiklopedi...) Ma Huan juga menuturkan betapa hampir semua lelaki memakainya, sejak anak-anak, bahkan sejak umur tiga tahun.
Dengan demikian jelaslah, keris pada masa itu sempat menjadi atribut sehari-hari bagi semua lelaki. Dan, kalau kita bandingkan dengan keris jalak Buddha yang tak berpamor, yang diperkirakan pembuatannya beberapa abad sebelumnya, pada masa Majapahit ini keris jelas sudah berpamor indah seperti dewasa ini.
Serta, sudah dibuat dengan baja bermutu tinggi. Semua hal yang membuat kita terheran-heran menyaksikannya sekarang, karena keris-keris dari periode berikutnya, yang seharusnya sudah lebih modern, justru mempunyai kualitas bahan dan penggarapan yang jauh di bawahnya. Ada yang memberi rasionalisasi, barangkali karena sebagai negara yang jaya, mereka sanggup mengimpor besi dari negara seberang. Begitu pula, sebagai negara yang mempunyai pemerintahan panjang, mereka sempat mengakumulasi pencapaian-pencapaian tinggi dalam berbagai bidang.
Pada dasarnya, sejak itu keris tak pernah mencapai masa keemasannya kembali. Memang, para pencinta keris sering menyebut masa Sultan Agung sebagai masa pemassalan keris. Begitu pula, era nom-noman, yakni masa setelah pecahnya Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755, sebagai puncak baru pecapaian estetika keris.
Akan tetapi, perpaduan kedua unsur itu, massal dan kesempurnaan estetis, memang sulit memuncak seperti masa keemasannya lagi, terutama karena kemunduran yang semakin parah dari kekuasaan kerajaan-kerajaan di nusantara, yang berarti juga kemunduran kemiliterannya, di mana keris merupakan salah satu penunjangnya.
Pada era PB, memang terjadi kemajuan 'kualitas' mencolok dalam garap (pembuatan) dan bahan. Terjadi eksplorasi estetik baru, yang antara lain menghasilkan sejumlah dapur (sosok) baru; ricikan (detail) yang semakin tegas-dalam, rapi, beragam; eksperimentasi garap dan model baru pamor; serta stilisasi baru yang memasukkan ukuran sedikit lebih besar, serta suasana necis dan gagah.
Sedang dari segi bahan, semakin jelas terjadi kontrol kualitas lebih ketat atas bahan pamor dan bajanya. Akan tetapi, juga pada masa inilah keris perlahan-lahan kehilangan peran sentralnya dalam kebudayaan kita, karena dilucuti secara fungsional, dari sebagai senjata, baik dalam arti fisik maupun spiritual, menjadi sekadar perabot seremonial yang cuma diagul-agulkan berlebihan.
Tak jelas apakah hal ini, yang juga diikuti 'kemajuan' dalam bidang seni lainnya, seperti sastra dan tari, bersangkut paut dengan tema lanjutan inward looking, yang lalu menghasilkan perumitan dalam segala bidang, akibat semakin berkurangnya ruang gerak para elite Jawa di masa itu pada bidang pemerintahan dan militer.
Akan tetapi, di masa itu cengkeraman Belanda memang sudah semakin menjadi, dan wilayah kekuasaan kedua kerajaan (bekas Mataram) itu sudah menyusut jauh tinggal Bagelen, Kedu, Surakarta, dan Yogyakarta saja.
Lebih lanjut, masyarakat Jawa bahkan mengalami demiliterisasi total akibat Pax Nederlandica pada abad ke-19. Dan, bagi Ricklefs, kemungkinan hal-hal inilah yang ikut mendorong elite Jawa melarikan diri pada perumitan estetik protokoler dan tata krama, termasuk 'peningkatan' penilaian kultural terhadap keris.
Dengan ini, zaman rupanya mulai menanamkan bibit kepudaran keris. Masalahnya, para petinggi kerajaan, yang masih memesan keris sebagai klangenan (hobi), dan karena itu langsung maupun tidak ikut menjadi pendukung finansial para empu, jumlahnya jelaslah sangat terbatas.
Terlebih lagi, seperti digambarkan Groneman, kesulitan ekonomi menyeluruh, yang berikutnya melanda kerajaan-kerajaan yang bangkrut itu, berdampak berat juga terhadap para priyayi ini.
Akan tetapi, yang lebih mendasar barangkali ialah, baik dalam pengertian fisik maupun spiritual, keris tetaplah senjata. Oleh karena itu, nasibnya secara lebih massal, tentu sejajar dengan keadaan kemiliteran pada masanya (Banyak sumber, misalnya, memperlihatkan bahwa keris merupakan perangkat senjata inventaris resmi bagi para prajurit Mataram).
Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan jika sepanjang abad ke-19 kita menyaksikan kemerosotan yang drastis dari seni tempa ini, sejajar dengan semakin terpuruknya kerajaan-kerajaan kita akibat hegemoni Belanda, dan khususnya demiliterisasi masyarakat Nusantara sebagai akibatnya.
Situasi inilah yang ditangkap dan diprihatini Groneman ketika menjadi parah seabad kemudian. Jawaban atas 500 kuesioner yang disebar Residen Couperus atas permintaannya memperlihatkan, 21 kota di Jawa masih punya penempa pamor tetapi tinggal hanya bekerja kalau ada pesanan, 42 distrik yang dulu punya tetapi saat itu tidak lagi, dan 81 distrik bahkan sudah lama tak tahu-menahu.
Dan sekarang, kita menjadi saksi, betapa imbauan Groneman yang romantis itu, yang meminta semua pihak menyumbang dalam menghidupkan kembali seni tempa ini, ternyata tak berarti. Saat ini, keadaan jauh lebih parah lagi: hanya tinggal seorang empu profesional di Yogya, beberapa empu pesanan dan empu belajar di Solo, serta beberapa empu pengrajin kodian di Aengtongtong, Gresik, Madiun, dan Malang.
Keris sebagai alat, sebagai benda budaya, betapapun adalah wujud hasil sebuah teknologi. Dan, teknologi senantiasa berdimensi waktu. Dengan demikian, penyebab kepudaran keris yang lain-lain, walaupun juga nyata, bisa dikesampingkan.
Yang pokok, sebagai hasil teknologi, betapapun kita kagumi, segera menjadi tidak kontekstual lagi dengan zamannya, sesegera itu pula ia ditinggalkan. Masalahnya, terkadang, kekaguman berarti berhenti, sementara waktu tidak. Keris segera, dan sudah, menjadi masa lalu.
Sementara itu, dari hari ke hari, dari seorang pedagang ke pedagang lain, dari satu kolektor ke kolektor lain, kita menyaksikan tingkat keausan, karat, bahkan kerusakan total yang semakin merata dan tak tertanggulangi, baik karena buruknya perawatan, rendahnya pemahaman, maupun brengseknya keisengan.
Jam mundur keris sudah lama berdetik. Kalau dianggap masih sepantasnya harus dikagumi sebagai sebuah pencapaian tinggi nenek moyang kita, barangkali kecintaan terhadap keris sudah membutuhkan redefinisi: konservasi, bukan sekadar koleksi.
Penulis: Budiarto Danujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar