Cari di Sini

Kamis, 27 Januari 2011

Pamor, Seni yang Awalnya Tak Disengaja


Keris yang bagus sesuai fungsinya sebagai senjata adalah tidak mudah patah atau bengkok. Ini juga merupakan hasil evolusi-progresif dari Empu dan para pande besi. Mereka melakukan mixing atas berbagai jenis logam, setidaknya besi, baja dan logam lain.
Sadar akan kelemahan masing-masing logam, maka dibuat percobaan mencampur berbagai jenis logam untuk menghasilkan senjata yang unggul dari sisi material.

Baja yang keras, tajam, namun getas (mudah patah), diapit oleh logam lain yang lentur (seperti lapisan besi lunak dan nikel) untuk menutupi kelemahan baja yang keras dan mudah patah tersebut. Karena susunan berlapis itu keris memiliki keistimewaan lain, lapisan besi lunak dan nikel menimbulkan konfigurasi yang indah dan itulah yang disebut ‘pamor’. Kata ‘pamor’ berasal dari bahasa Jawa ‘amor’ atau ‘diwor’ yang artinya ‘dicampur’ atau ‘disatukan’. (Kutipan : A.Ardiasto).

Awalnya motif pamor tidak beraturan, tidak kontras dan muncul tanpa disengaja. Garis-garis itu merupakan layer baru akibat adanya proses over-reaktif antara dua lapis bahan yang tidak murni yang terkena bara api dan pukulan. Layer itu memiliki lapisan grafis disebut ‘pamor sanak’ dan kemudian menjadi seni tersendiri. Oleh keadaan itu muncul ide dan metode mengatur terjadinya alur lapisan grafis (pamor sanak) dengan cara penambahan nikel atau logam yang lain. Beberapa bahan besi (heterogen) yang digunakan sering pula setelah diwarangi membentuk nuansa samar-samar keputihan tidak berupa alur yang jelas, lebih melebar seperti ‘awan di langit’ disebut pamor “ngapuk” (dari kata ‘kapuk’ = kapas; bhs.Jw).

Catatan-catatan etnografis masa lalu menunjukan bahwa empu keris atau pande besi secara khusus memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena dianggap memiliki kesaktian dan tidak sembarangan atau setiap orang dapat menjadi empu. Oleh karena itu sangat menarik bahwa, seperti disebutkan di dalam kitab Slokantara, pande besi termasuk salah satu golongan masyarakat ‘candala’. Tempat pembuatan benda-benda logam pada abad ke 9 di sebut ‘gusalyan’ dari istilah ‘paryyen’ (jawa kuno) berubah menjadi ‘paron’. Tempat-tempat tersebut dianggap sacral karena memiliki aspek simbolik – religius dimana ‘paron’ (landasan tempa) adalah lambang bumi dan ‘palu’ merupakan jatuhnya bahan besi (meteor) yang ditumbukkan, sebagai lambang terrestrial dan celestial yaitu simbolik dari persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Artinya dalam pengertian ini adalah, bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga dianggap sebagai benda sacral yang dihasilkan dari pemahaman religius tentang ‘manunggaling kawulo gusti’. (kutipan dari makalah Prof. Dr. Timbul Haryono).

Penggunaan logam meteorit itu memang dilakukan secara sengaja terutama ketika proses spiritual yang mengiringi penciptaan para Empu ikut memberikan aksentuasi, yaitu adanya kepercayaan manusia (maguru alam pada masyarakat agraris) yang berdasar pada filosofi ‘manunggaling kawula Gusti’ tersebut. Filosofi Perrestrial itu tidak hanya milik masyarakat kita, tetapi merupakan sebuah gejala pada semua masyarakat atau manusia di seluruh dunia, yang menyadari akan keberadaannya dalam ruang lingkup kehidupannya berinteraksi dengan alam.

Kemudian penyatuan material logam meteorit tersebut pada ‘keris’ dianggap sebagai keterwakilan adanya kekuatan yang dahsyat. Kini, kepercayaan terhadap kekuatan yang ada pada keris itu memperkuat eksistensi keris, dengan sebutan adanya tuah, khasiat, yoni, daya magis, dlsb.

Hasil ciptaan konfigurasi grafis dari lapisan pamor (meteorit) kemudian memiliki sebuah nilai estetika tersendiri apalagi setelah proses warangan. Dari beberapa sumber diketahui ‘warangan’ adalah senyawa kimia arsenic As2S3 dibawa berasal dari daratan Indochina.

Warangan (bie-soan; bhs. Cina) sering dipergunakan sebagai obat atau bahan ramuan untuk menyembuhkan luka dan mengurangi rasa sakit akibat asam lambung. Para tabib (shines) di daratan Indochina sering mengobati pasien ambeien dengan mengoles serbuk warangan. Selain itu warangan muda yang ditumbuk (digerus) dan diaduk dengan air 1 sendok teh, ditelan untuk menyembuhkan sakit maag, cara kerja dalam proses penyembuhannya hampir mirip dengan strocain pada obat-obatan modern.

Warangan yang dicampur asam citrate akan bereaksi sebagai senyawa kimiawi anti korosi pada besi. Senjata tua dari belahan Asia seperti Pokiam (pedang China) dibasuh warangan agar tidak berkarat. Transfer teknologi tentang asal-usul penggunaan anti korosi dengan warangan pada para Empu memang tidak pernah diketahui dengan pasti, apakah berasal dari China atau memang para Empu Nusantara jaman dahulu yang menemukannya. Selanjutnya, terjadinya pemahaman nilai yang kompleks dalam bentuk akulturisasi dan sinkretisasi kepercayaan ke-Tuhanan mengangkat keris untuk di’agung’kan. Maka, di wilayah Nusantara terutama di Jawa dikenal adanya tradisi jamasan pusaka atau membersihkan pusaka, biasanya dilaksanakan pada bulan Maulud atau bulan Suro.

Jadi, dapat dirunut dan disimpulkan tujuan mewarangi keris awalnya adalah proses teknis untuk anti karat, yang berkembang menjadi media estetika (seni pada konfigurasi pamor) dan seterusnya kemudian berkembang pula adanya sebuah tradisi atau upacara. Hal ini karena keris mengalami pergeseran nilai dari sebuah senjata teknomik – sosioteknik – ideologis, menjurus sebagai benda khusus yang disakralkan, di-agungkan bahkan menjadi benda yang dipercaya sebagai jimat.

Sekarang eksistensi keris dapat dianggap sebagai benda budaya. Benda yang perjalanannya tak lepas dari sentuhan aspek sosiologis - etnografis, menjadi sebuah warisan budaya dimana UNESCO memberikan penghargaan berupa proclaime-nya sebagai world heritage karya manusia.

Untuk menampakkan alur pamor itu keris direndam cairan warangan (campuran kimia arsenic As2S3 dengan asam dari jeruk nipis C3H4OH). Cairan warangan yang sudah bereaksi dengan asam akan melindungi besi dari korosi, dan merubah warnanya menjadi kehitaman. Sehingga alur pamor akan lebih tampak dengan tampilan putih keabu-abuan karena jenis unsur logam bahan pamor seperti unsur Nikel, Zink, Paspor, Allumunium yang terkandung tidak bereaksi terhadap warangan dan tidak berubah warnanya. Sedang besi akan menjadi hitam. Setelah diwarangi alur pamor akan lebih tampak kontras bisa dibedakan oleh penglihatan (lihat gambar paling depan pada naskah ini).

Pada saat sekarang ini, para pecinta keris dan tosanaji dapat menikmati keindahan seni pamor yang ada pada keris-keris. Beratus bahkan mungkin ribuan pattern (motif pamor) telah diciptakan oleh para empu, baik secara sengaja (Bhs. Jw.:"Jwalono" - Rekan) atau tidak disengaja (Bhs.Jw.; "anukarto wirasat" - tiban). Semua motif itu, ada yang bisa dilaksanakan oleh para seniman keris jaman sekarang, namun diantaranya juga tidak bisa dibuat ulang karena tiada kejelasan dan contoh barangnya. Seperti pamor 'jarot asem', 'guntur gunung' dan beberapa jenis lainnya, dimana pada buku-buku tua hanya dibuat sketsnya (gambar tangan), sehingga meragukan apakah betul pamor semacam itu pernah ada.
Salam Budaya.

Nama keris Kanjeng Kyahi Katiban adalah hasil eksperimentasi Toni Junus, 2009
Dhapur Jaka Wuru – Kamardikan Mutrani.
Pamor dari bahan iron meteorite – Australia.
Finishing - Sepuh dengan mantra 'panguripan'.
Koleksi TJ.

Naskah dicuplik dari Teks KRISOLOGY
Diprakarsai oleh media khusus tosanaji PAMOR (dalam persiapan terbit).
Krisologi’1 merupakan ‘Bunga Rampai’ disunting oleh Toni Junus,
tulisan dari para partisipan a.l. :
Drs. Budi Hermawan, MM.; A. Ardiasto SH.; Ady Sulystiono S.Sos.;
H.M. Arief Syaifuddin Huda.

Kontributor :
Empu KRT. Subandi Suponingrat, AA. Waisnawa Putra; M. Bakrin; Benny Sadar; Ir. Soegeng Prasetyo S.; Soewarso; Yakun Sunar; RT. Cahyo Suryodipuro; lIham Triadi; Herman Banyuwangi; Ashari B.SE.

1 komentar: