Cari di Sini

Selasa, 25 Januari 2011

Keris Pusaka Keraton


Sejak abad ke-19 Masehi sampai masa kerajaan Islam di Jawa keberadaan keris terus berlanjut, bahkan sekarang masih dijumpai pembuatan keris di beberapa tempat dengan teknik-teknik tempa lipat yang menjadi ciri khusus pembuatan keris.
Pada teknik tempa-lipat besi dan pamornya disatukan kemudian ditempa sampai menjadi satu, kemudian dilipat dan ditempa lagi, demikian seterusnya.

Sebuah keris mempunyai ricikan yang terdiri dari:
- Pesi, semacam akar bilah berbentuk bulat,panjang sekitar 7-8 cm, dibuat dari besi untuk ditancapkan ke dalam ukiran (pegangan keris);
- Ganja, dudukan keris yang terletak pada pangkal bilah. Ada dua macam ganja yakni ganja iras dan ganja susulan. Disebut ganja iras jika ganja tersebut merupakan terusan dari bilah, sedangkan yang disebut ganja susulan adalah ganja lepasan;
- Wilah, yakni badan keris mulai dari perbatasan ganja sampai ujung tajaman keris (pucuk atau kudhup). Pucuk keris ada yang dinamakan: kudhup nyujen, pucuk yang sangat runcing; kudhup gabah kopong, seperti bentuk gabah; kudhup buntut tuma, ujungnya berbentuk seperti ekor kutu; kudhup kembang gambir, pucuk yang tidak terlalu runcing, tetapi tajam sekali.

Pamor diketahui berasal dari meteor yang jatuh ke bumi. Di Jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV ditemukan sebongkah meteor yang jatuh ke bumi, yaitu sekitar tahun 1723 J atau tahun 1801 M. Meteor yang jatuh di sekitar daerah Prambanan wilayah Surakarta tersebut berukuran tinggi sekitar 50 cm, dan berdiameter 80 cm.

Benda tersebut sampai sekarang disimpan di Kraton Surakarta sebagai salah satu benda pusaka kraton, dan disebut “Kanjeng Kyai Pamor” yang dimanfaatkan dalam pembuatan keris sejak Susuhunan Paku Buwana IV hingga Susuhunan Paku Buwana XI (1939-1945). Penelitian metalurgis terhadap meteor tersebut dengan menggunakan spectrophotometer menunjukkan bahwa didalam kanjeng Kyai Pamor terdapat unsur-unsur nikel, titanium, besi, timbal, dan timah putih atau sekitar 94% unsur besi dan 5% unsur nikel.

Ada beberapa jenis meteor yaitu:
- meteorit, mengandung besi dan nikel, kalau ditempa didalam keris menjadi kelabu;
- siderit, hanya mengandung besi, kalau ditempa dalam keris menjadi ‘pamor ireng’ (warna hitam); dan
- aerolit, kalau ditempa dalam keris tidak tampak jelas, disebut ‘pamor jalada’.

Dilihat dari proses terjadinya, pamor keris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- pamor Jwalana, pamor yang terjadi dengan sendirinya karena keahlian sang empu, corak dan ragam hiasnya terjadi secara alamiah. Contoh pamor Jwalana adalah : pamor Mega Mendhung, pamor Urap-urap dan pamor Ngulit Semangka;
- pamor Anukarta, yakni pamor yang dibuat secara sengaja, direncanakan oleh sang empu. Contohnya pamor Blarak Ngirid, pamor Kenanga Ginubah, pamor Wiji Timun, pamor Untu Walang dan pamor Udan Mas.

Kegunaan keris bagi masyarakat Jawa bermacam-macam. Pada mulanya keris adalah senjata tikam dalam perkelahian atau pertempuran. Dalam hal ini keris dibawa sebagai sipat kandel. Namun dalam perkembangannya, keris tidak lagi berfungsi sebagai senjata, tetapi sebagai tosan aji, artefak karya empu pembuatnya. Sebagai konsep perpaduan ‘bapa akasa ibu pertiwi’ keris dipercaya menyandang kekuatan gaib yang dapat bepengaruh bagi pemiliknya. Akhirnya keris merupakan bagian dari budaya jawa sebagai salah satu kelengkapan hidup orang Jawa yang tergambar dalam konsep: wisma (rumah), garwa (istri), turangga (kuda), kukila (burung) dan curiga (senjata keris).

Di antara keris-keris pusaka Kraton Yogyakarta yang menduduki tempat terpenting adalah kangjeng Kyai Ageng Kopek. Keris ini hanya boleh dikenakan oleh sultan sendiri, lambang perannya sebagai pemimpin rohani dan duniawi. Menurut tradisi keris ini dibuat pada masa kerajaan Demak dan pernah dimiliki oleh Sunan Kalijaga. Selain itu ada keris Kangjeng Kyai Joko Piturun yang hanya boleh dikenakan oleh putra mahkota, sedang Kangjeng Kyai Toyatinaban adalah keris yang dikenakan oleh Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra lelaki tertua Sultan. Keris Kangjeng Kyai Purboniat hanya boleh dikenakan oleh patih Danureja.

foto: Keris Kyai Ageng Kopek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar